Malam minggu, sehari menjelang hari kemerdekaan, iseng mengganti-ganti channel TV di rumah. Akhirnya tersangkut pada penampilan Bang Iwan yang live di TPI, yang biasanya menghadirkan dangdut melulu.
Saat saya tonton, Bang Iwan sedang menyanyikan 'Siang di depan Istana'. Ia diiringi band nya yang belakangan sering mendampingi Bang Iwan untuk tampil di publik. Lagu yg sedang ia bawakan ini lagu lawas, yang ternyata masih mengena (kontekstual) di masa sekarang. Lagu-lagu berikutnya sepertinya diambil dari album Bang Iwan yang baru. Saya gak ingat judulnya. Kurang familiar di kuping ini. Akhirnya saya ganti channel TV nya ke channel lain.
Setelah lama berselang, saya masih di depan TV dan iseng. Saya kembali lagi terdampar di TPI, acaranya Bang Iwan, yang ternyata di sponsori Telkomsel dan TVS (merek motor). Penonton acara live ini banyak. Ada kali ribuan. Ya pasti penggemar fanatik lah. Laki-laki semua yang terlihat.
Di sudut kiri panggung, tampak keyboardist lawas terbaik yang dimiliki negara ini, Jockie Soeprayogo. Sebelum memainkan sebuah lagu bersama Bang Iwan, ia sempat berujar kepada penonton, "Reformasi itu tahun 1998, kalau Kantata sudah (mendengungkan) sejak tahun 1989!" Ujaran Om Jockie itu disambut gemuruh teriakan penonton yang hadir di sana, di Leuwinanggung, Cimanggis, Depok.
Kemudian Om Jockie memainkan tuts-tus di depannya dengan style piano progresif. Di belakang suara piano Om Jockie, susul menyusul suara lain. Seperti sebuah band sedang melakukan check sound diatas panggung. Guitar, Bass, semuanya, kecuali drum. Drum atau perkusi dimainkan secara aneh tapi terpola. Saya kira ketukannya empat perempat biasa aja. Tapi kayaknya bukan juga.
Akhirnya kamera menyorot pada si pemain drum. Dan pemain drumnya sudah diganti. Bukan lagi yang bermain dengan Bang Iwan di lagu-lagu sebelumnya. Wah ini kan Inisisri yang juga menggawangi Kantata Takwa dan Swami. Saya yang tadinya menyaksikan sembari tidur di depan TV, langsung terbangun mengambil posisi duduk agar lebih bisa cermat menyimak permainan yang akan disajikan.
Benar saja. Piano progresif Jockie dan Drum Inisistri yang aneh itu mengawali masuknya lagu 'Hio', yang dulu pernah dinyanyikan Sawung Jabo bersama Bang Iwan, dalam Kantata. Irama lagu ini membuat orang menari. Suara serak Bang Iwan pun kemudian masuk...
"Aku tak mau terlibat segala macam tipu menipu
Aku tak mau terlibat segala macam omong kosong
Aku wajar wajar saja
Aku mau apa adanya
Aku tak mau mengingkari hati nurani..."
Wah. Dahsyat. Permainan drum Inisisri, memperkuat warna lagu Hio. Lagu ini menjadi seperti merakyat. Indonesia sekali. Sayang tidak ada Sawung Jabo-nya. Bang Iwan juga sempat berujar demikian di atas panggung.
Di atas panggung ada Totok Tewel. Gitarnya meraung-raung. Tak mau kalah dengan bunyi-bunyian yang berirama 'asyik' itu. Suasana panggung memang lain dengan hadirnya pendekar2 ini. Totok Tewel pun di salah satu lagu di atas panggung ini bahkan sempat melemparkan gitarnya ke udara, dan akhirnya gitar itu terbanting (rusak gak ya?). Sepertinya ia terbawa suasana panas panggung.
Masih lagu 'Hio'. Lagu ini sepertinya di aransemen baru untuk acara ini. Di tengah2 lagu ada tembang Jawa yang dinyanyikan salah satu personil di atas panggung. Meski saya memahaminya, tapi tembang Jawa itu semakin membuat lagu Hio semakin klimaks dan dahsyat.
Itu masih belum. Tiba-tiba di tengah lagu, hingar-bingar irama lagu Hio merendah. Bang Iwan tampak memanggil seseorang dari balik panggung. Dan orang itu tak lain WS Rendra, yang juga ikut dalam Kantata Takwa dan Swami. Rendra membacakan puisinya, yang intinya mengkritik para koruptor di DPR. Ia menggunakan gaya pantun yang diplesetkan yang membuat penonton terhibur dan tertawa. Ini beberapa yang masih saya ingat:
"Kalo ada sumur di ladang,
Jangan diintip si gadis mandi...
...Kura-kura dalam perahu,
Buaya darat di dalam sedan...
...Berakit-rakit dahulu
Besenang-senangnya kapan..."
Hahaha. Fresh. Menggelitik. Tajam. Lagu Slank "Gosip Jalanan" terasa tidak ada apa-apanya.
Setelah lagu Hio, mengantri lagu Kantata lainnya, "Gelisah", "Samsara", dan "Kesaksian", yang membuat penonton yang hadir menyanyikannya bersama2.
Terakhir Bang Iwan menyanyikan lagu "Merdeka" dengan hanya bergitar sendirian di atas panggung. Tapi permainan gitar Bang Iwan bisa bikin ramai suasana panggung.
Dan penutup, yang menjadi anti klimaks, bernyanyi bersama2 lagu "Hari Merdeka" ciptaan H Mutahar, yang dinyanyikan secara biasa saja.
Minggu, Agustus 17, 2008
Kamis, Maret 13, 2008
Urip pada Jaksa di Media
Enak juga. Simpel. Menyebut kasus suap senilai 6 miliar Rupiah kepada seorang Jaksa penyidik Kejaksaan Agung bernama Urip Tri Gunawan, dengan nama 'kasus Jaksa Urip'. Buat reporter radio enak juga nyebutnya singkat tapi langsung mengena.
Koran atau media 'online' pernah mencoba mengangkat kasus ini dengan nama 'the six billion dollar man' untuk jaksa urip sesuai besar uang suap yang ia terima, yang mengingatkan pada sebuah judul film di tahun 70-an. Buat reporter radio atau mungkin TV lebih enak menyebut kasus'Jaksa Urip'. Karena seringnya menyebut kasus 'Jaksa Urip' kadang jadi canggung menyebut nama belakang mas Urip.
Bukan hanya orang media. Pejabat pemerintah pun juga lebih enak menyebut kasus 'Jaksa Urip'. Menkopolkam Widodo AS kemarin seusai rapat soal BLBI di kantornya, juga menyebut kasus 'Jaksa Urip' sebagai perhatian utama pemerintah saat ini.
Dulu waktu kasus suap jaksa sebelumnya yang dilakukan oleh Ahmad Junaedi, terdakwa kasus korupsi Jamsostek, sulit untuk mengingat nama kedua jaksa yang menerima suap, Burju Roni dan Cecep Sunarto. Rasanya kurang enak menyebut kasus ini dengan menonjolkan dua nama jaksa itu seperti halnya menyebut 'Jaksa Urip'. Misalnya dengan menyebut Jaksa Cecep, tentu yang di Bandung sana merasa risih namanya disebut-sebut. Atau misalnya nama jaksa itu Sitorus, maka menyebut jaksa Sitorus juga kurang enak bagi Bang Sitorus yang lain.
Nama 'Urip' kayaknya udah pas untuk jadi headline media. Kalau di radio bunyi nama itu mudah tersangkut ditelinga. Sepertinya kayak udah disetting aja, bahwa the bad guy di kasih nama urip. Media jadi mudah beramai-ramai menstruktur 'jaksa urip' sebagai maling yang pantas untuk segera dihakimi massa. Nama 'Urip' memang nama orang Indonesia sekali.
Jadi ingat film seri Judge Bao. Dalam film itu Judge Bao diceritakan sebagai hakim yang adil dan tegas. Nama Judge Bao memberi aura positif terhadap institusi peradilan. Itu cerita di negeri sana, bukan di sini. Kalau di sini sulit mengangkat tokoh-tokoh yang bisa dibanggakan dari dunia hukum. Polisi namanya dah jelek dengan banyaknya 'damai' di jalan waktu di tilang, percaloan SIM, dll yang masih seabreg. Apalagi Jaksa, ditambah kasus Jaksa Urip. Hakim? waduh kayaknya ada juga kasus-kasus hakim yang bermasalah.
Jadi kalau dilihat-lihat lagi, yang buruk itu sebenarnya ada pada kata 'Jaksa' atau nama 'Urip' nya ya? Yah sama-sama kali ya. Wallahualam.
Koran atau media 'online' pernah mencoba mengangkat kasus ini dengan nama 'the six billion dollar man' untuk jaksa urip sesuai besar uang suap yang ia terima, yang mengingatkan pada sebuah judul film di tahun 70-an. Buat reporter radio atau mungkin TV lebih enak menyebut kasus'Jaksa Urip'. Karena seringnya menyebut kasus 'Jaksa Urip' kadang jadi canggung menyebut nama belakang mas Urip.
Bukan hanya orang media. Pejabat pemerintah pun juga lebih enak menyebut kasus 'Jaksa Urip'. Menkopolkam Widodo AS kemarin seusai rapat soal BLBI di kantornya, juga menyebut kasus 'Jaksa Urip' sebagai perhatian utama pemerintah saat ini.
Dulu waktu kasus suap jaksa sebelumnya yang dilakukan oleh Ahmad Junaedi, terdakwa kasus korupsi Jamsostek, sulit untuk mengingat nama kedua jaksa yang menerima suap, Burju Roni dan Cecep Sunarto. Rasanya kurang enak menyebut kasus ini dengan menonjolkan dua nama jaksa itu seperti halnya menyebut 'Jaksa Urip'. Misalnya dengan menyebut Jaksa Cecep, tentu yang di Bandung sana merasa risih namanya disebut-sebut. Atau misalnya nama jaksa itu Sitorus, maka menyebut jaksa Sitorus juga kurang enak bagi Bang Sitorus yang lain.
Nama 'Urip' kayaknya udah pas untuk jadi headline media. Kalau di radio bunyi nama itu mudah tersangkut ditelinga. Sepertinya kayak udah disetting aja, bahwa the bad guy di kasih nama urip. Media jadi mudah beramai-ramai menstruktur 'jaksa urip' sebagai maling yang pantas untuk segera dihakimi massa. Nama 'Urip' memang nama orang Indonesia sekali.
Jadi ingat film seri Judge Bao. Dalam film itu Judge Bao diceritakan sebagai hakim yang adil dan tegas. Nama Judge Bao memberi aura positif terhadap institusi peradilan. Itu cerita di negeri sana, bukan di sini. Kalau di sini sulit mengangkat tokoh-tokoh yang bisa dibanggakan dari dunia hukum. Polisi namanya dah jelek dengan banyaknya 'damai' di jalan waktu di tilang, percaloan SIM, dll yang masih seabreg. Apalagi Jaksa, ditambah kasus Jaksa Urip. Hakim? waduh kayaknya ada juga kasus-kasus hakim yang bermasalah.
Jadi kalau dilihat-lihat lagi, yang buruk itu sebenarnya ada pada kata 'Jaksa' atau nama 'Urip' nya ya? Yah sama-sama kali ya. Wallahualam.
Minggu, Februari 24, 2008
Minggu, Oktober 07, 2007
Ben 10
Belakangan ini aku lagi suka nonton film kartun Ben Ten di Cartoon Network. Ide ceritanya asik juga. Anak kecil yang punya jam tangan canggih di tangan kirinya, yang bisa mengubah dirinya jadi sepuluh mahluk asing yang setiap mahluknya punya kelebihannya. Sebenarnya yang mahluk-mahluk superhero yang ada di cerita Ben Ten ini mengadopsi dari cerita komik superhero yang ada, seperti fantastic four, ada yang mirip hulk, ada yang mirip the flash. Tapi pengadopsiannya gak sama persis. Misalnya yang mirip the hulk nama mahluknya fourarms, sesuai namanya, tangannya empat. Kalau the hulk hijau, ini warnanya merah, tapi tetap mengenakan kaos yang kesempitan karena badannya yang menjadi superbesar. Selain itu ceritanya juga lumayan enak untuk diikuti. Satu episode langsung selesai. Gak mesti nunggu sambungan kayak Justice League, yang kadang gak tau kapan sambungannya ditayang.
Langganan:
Postingan (Atom)